Dua Malaikat
Rumah-rumah
kecil, tanaman yang indah, pepohonan rindang, kendaraan berlalu-lalang,
ayam-ayam berkeliaran disana-sini. Seperti inilah keadaan disekitar rumah Aria.
Seorang anak yang hidup dalam keluarga yang sederhana. Ia tinggal bersama
seorang kakak dan adiknya disebuah gang dikota. Ya, seperti kata para
tetangganya, Aria adalah seorang anak penurut, tidak banyak bicara dalam
melakukan suatu pekerjaan, dan ia suka bekerja keras. Aria juga sangat
menyayangi kakak dan adiknya.
Aria
bersekolah di salah satu SMP negeri di kotanya. Dia siswa yang pandai dan rajin
menyelasaikan tugas sekolah. Aria semakin giat sekolah. Terlebih ketika ia
mulai mengerti bahwa ia sudah tak mempunyai orang tua. Bahkan Aria lupa atau
tidak mengetahui seperti apa sosok ayah dan bunda yang pernah mengandungnya.
Dan Aria lebih semangat untuk menjalani hari-harinya.
“kak Citra, Aria rindu sama ayah dan bunda“, curhat
Aria pada kakaknya.
“Diyah juga kangen sama ayah dan bunda, kak“, imbuh
adiknya.
“iya adikku, kakak mengerti apa yang kalian
rasakan“, jawab kak Citra.
“ingin rasanya bisa ketemu bunda” ucap Aria dengan
air mata menetes di pipinya.
“cup..cup.. jangan menangis dik. Kita harus bisa
menerima kenyataan ini dik. Kita harus bisa merelakan sesuatu yang seharusnya
pergi dari diri kita”
Persaudaraan antara mereka bertiga memang sangat
rukun, bahkan jarang sekali bertengkar. Sejak kecil Aria sudah ditinggal oleh
kedua orang tuanya. Terutama sang bunda yang wafat ketika Aria masih berusia 5
tahun. Saat itu ayahnya masih sanggup untuk merawat anak-anaknya. Namun,
beberapa tahun kemudian ayahnya menyusul sang bunda, beliau meninggal karena
penyakit yang diderita ayah.
Meskipun kini Aria baru menginjak kelas 8 SMP, namun
dia menyadari bahwa dialah satu-satunya lelaki dari ketiga saudaranya. Aria
tahu, walaupun ia memiliki seorang kakak perempuan, ia harus tetap berusaha sebaik mungkin untuk
menghidupi keluarga kecilnya kelak.
Hari berganti hari. Sang mentari menampakkan
sinarnya. Pagi itu ketiga saudara sama-sama berangkat ke sekolah bersama.
Mereka menaiki angkutan umum sebagai kendaraan untuk mangantar dan menjemput
mereka ke sekolah. Dan kebetulan letak sekolah mereka saling berdekatan.
“Diyah masuk ke sekolah dulu ya, kak”,
“Dah kak Aria. Dah kak Citra”, pamit Diyah pada kedua kakaknya.
“iya.. hati-hati ya manis”, jawab kak Citra dan
Aria.
Setelah melewati sekolah Diyah, selanjutnya Aria
yang akan berpamitan pada kak Citra.
“kak Cit, Aria sekolah dulu ya, kak. Kakak hati-hati
ya sampai sekolah”, pamit Aria pada kakaknya.
“siap, pangeran kecilku. Sekolah yang pintar ya
dik”, jawab kak Citra dengan senyumannya yang manis.
Pagi itu, raut muka Aria terlihat sedikit pucat.
Entah, apa yang terjadi pada Aria. Hingga keesokan harinya.
“kak, hari in Aria ijin tidak masuk sekolah ya?
Kepala Aria pusing banget nih”,
“oh, iya dik. Badanmu panas begini. Istirahat aja
dikamar dik” jawab kakak sambil memegang dahi adiknya
“iya kakak” jawab Aria
Akhirnya, kak Citra dan Diyah berangkat ke sekolah
bersama. Sepulang sekolah pukul 15.00 WIB mereka sudah sampai dirumah. Kak
Citra menuju ke kamar melihat kondisi adiknya. Ketika jemari kakak menyentuh
dahi dan badan Aria, kakak merasa badan Aria semakin panas. Aria berkata bahwa
kepalanya pusing seperti berputar tujuh keliling. Mengetahui keadaan tersebut,
kak Citra dan Diyah segera membawa Aria ke rumah sakit yang tetletak tidak jauh
dari rumah mereka.
Ruangan bercat putih, berbau obat, yang dapat kita
lihat jelas hanya tempat tidur, meja dan infus yang menancap di tangan Aria.
Dia tidak sadarkan diri. Hening. Sunyi.
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruangan.
Beliau berkata pada kak Citra bahwa tumor yang ada di dalam otak adiknya
kambuh. Kak Citra sudah mengetahui hal ini, bahwa tumor yang diderita adiknya
adalah bawaan dari sang bunda. Dan itulah penyebab kematian bundanya.
Mendengar perkataan dokter tersebut, Diyah menangis
dalam pelukan kak Citra. Selama ini Diyah tidak pernah mengetahui hal ini.
Kemudian, kak Citra dan Diyah memasuki ruangan Aria dirawat. Ternyata Aria
sudah bangun. Tanpa disadari, tadi Aria mendengarkan percakapan antara kakaknya
dan dokter.
“kak Aria, gimana kabarnya? Masih pusing, kak? Tanya
adiknya dengan polos
“emm… sudah baikan kok dik”, jawab Aria tanang
“makan dulu ya dik. Ini kakak bawain makanan
kesukaanmu”, ucap kak Citra
“tidak mau”, bantah Aria
“kenapa dik? Biar badan adik tidak lemas”, rayu sang
kakak
“tidak mauu!” bantahnya sekali lagi
“ayolah kak. Makan sedikiiit saja”, rengek Diyah
dengan manja
“iya deh, Aria nurut. Demi kakak dan adikku yang
lucu” jawab Aria
Sang waktu berlalu. Senja pun menghampiri. Namun,
kondisi Aria semakin memburuk. Aria kefikiran akan penyakitnya. Tiba-tiba sakit
jantungnya kambuh. Seketika kak citra memanggil dokter untuk memeriksa adiknya.
Kak Citra menjadi panic. dia takut jika hal yang terjadi pada bundanya bisa
menimpa adiknya. Dia tak ingin adiknya pergi meninggalkannya dan Diyah.
Beberapa minggu kemudian, ruangan berbau obat itu
sudah bisa ditinggalkan Aria. Kini kondisinya sudah pulih seperti biasa.
Panasnya mentari terasa berada diatas kepala. Telepon
rumah bordering. Aria menerima telepon tersebut. Jauh disana ada seseorang yang
mengabarkan bahwa kak Citra mengalami kecelakaan ditabrak mobil. Aria kaget
mendengar hal ini. Dia langsung menuju tempat kejadian yang dimaksud. Dia
membawa kakaknya ke rumah sakit. Namun, ketika di rumah sakit, kabar buruk
datang. Nyawa kak Citra tak dapat diselamatkan.
Aria dan Diyah merasa sangat terpukul atas kejadian
ini. Tetapi, Aria ingat pada perkataan kak Citra. Bahwa, kita harus bisa
merelakan sesuatu yang seharusnya pergi dari diri kita.
Waktu berlalu begitu cepat. Aria semakin menyadari
bahwa dialah yang menjadi tulang punggung bagi adiknya. Kini Aria telah menjadi
mahasiswa di sebuah PTN di kotanya. Dan adiknya, diyah sekarang berada di kelas
1 SMA. Biaya pendidikan masih bisa ditanggung oleh tantenya. Nemun, tak
selamanya mereka akan bergantung pada tantenya. Yang menjadi masalah, sesudah
tamat SMA, Diyah harus melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mampukah Aria
membiayai sekolah adiknya sampai tingkat selanjutnya? Di samping kuliah, Aria
memutuskan untuk kuliah sambil bekerja.
Lima tahun telah berlalu. Tak sia-sia perjuangan
Aria. Kini Diyah telah mampu menempuh pendidikannya dengan tepat waktu. Diyah
berhasil mendapatkan gelar Sarjana. Tidak tanggung-tanggung Diyah menjadi
mahasiswi teladan dan mendapatkan penghargaan. Diyah tak kuasa menahan tangis
ketika namanya disebut disaat wisuda. Kemudian Diyah berlari mencari kakaknya
diantara kerumunan orang. Aria dipeluk dan diciumnya. Keduanya terlibat dalam
keharuan.
Pada saat itulah Diyah menyatakan bahwa
keberhasilannya adalah milik kakak-kakaknya yang telah mendidiknya dan menjadi
orang tua baginya. Tidaklah sebanding pengorbanan kakaknya dengan secarik kertas
sertifikat ijazah yang diterima. Terlalu tinggi nilai kasih saying kakaknya
kepada Diyah.
Kemudian, Diyah memberi kakaknya secarik kertas
berwarna biru yang bertuliskan:
Tuhan,
kedua malaikatmu ini sungguh berhati mulia
Diyah bersyukur memiliki kak Citra dan kak Aria
Entah,
apa jadinya Diyah tanpa kekuasaan-Mu Tuhan
mereka bagaikan sebercak cahaya
mampu menyinari kehidupanku.
Walau yang kini ku miliki hanya kak Aria,
Diyah berterima kasih pada-Mu tuhan.
Terima kasih kakak.
Terima kasih ayah dan bunda.
0 Response to "Dua Malaikat"
Posting Komentar